Rasa Kopi

Entah angin apa yang terbang kemari senja ini, tiba-tiba saja aku teringat jaman SD dulu, aku pernah merasa heran dengan kakak-kakak ku yang mengobral cerita tentang kopi dan macam rasanya.

Mulai dari kopi Brontoseno, asal Kediri, hingga kopi Nggamong, Kudus. Mulai dari kopi yang diseduh dengan takaran yang sama dengan gula, dua-pertiga gula, sedikit gula, hingga tanpa gula sama sekali.

Dari cara minum kopi yang seperti orang kehausan, hingga menikmatinya sesap demi sesap, yang bahkan bisa menghabiskan waktu 3 jam untuk menghabiskan satu cangkir kecil kopi.

Mulai dari kedai yang menyajikan kopi kental sangat, hingga warung yang menyajikan kopi asal (asal hitam). Biasanya mereka menyebutnya ‘banyu kebyukan kopi’ (air ketumpahan kopi).

Heranku tak berkesudahan karenanya, maklumlah, aku belum menyukai kopi saat itu.

Lama, lamaaaaa sesudah masa-masa itu, aku baru berkenalan dengan bermacam aroma dan rasa kopi. Secangkir kopi sehari, dua cangkir, tiga, empat hingga lima cangkir kopi sehari sudah pernah menjadi keseharianku hingga saat ini. Sebut saja kopi Jambi, kopi Lampung, kopi Toraja, kopi Aceh, kopi Bali hingga kopi Luwak sudah pernah menikmatinya.

Ngopi kemudian menjadi ritual wajib dalam berbincang dengan sahabat-sahabat ketika aku tinggal di Jogjakarta selama dua tahun. Toman cafe, Mato cafe, Blandongan, Semesta, Lembayung dan Kopi Joss adalah tempat-tempat ngopi favorite selama aku di Jogjakarta.

Lantas, perkenalanku dengan dunia ngopi, meningkat hingga mempelajari cara penyeduhan dan penyajian. beberapa cara penyajian aku pelajari dan praktekkan setiap ada kesempatan.

Menikmati kopi adalah caraku menikmati hidup!

Kesimpulan akhirnya adalah; pada akhirnya semua rasa kopi adalah sama, yang menjadikannya berbeda adalah siapa yang membuatkannya!

#eeeaaaaaaa

*gambar nyomot dari sini

#Pulang

Minus Empat Belas

Aku mulai memahat dayung,

dari tiang penyangga yang tak sempat utuh….

Telah kupilin benang yang tak panjang

membentuk kelindan..

Aku termenung,

menatap angkuh jarum penentu arah yang telah berubah

menuju satu tempat kembali…

Minus Tiga Belas

Telah kukirimkan rindu yang engkau tanyakan

sepertimu, aku menyimpan segunung rindu…

 

 

Tidakkah kau lihat dayung yang memang kupahat untukmu?

meski belum lagi akan,

pasti sampai padamu…

.

Minus Dua Belas

Bersabarlah!

kusimpan dayung

serta kelindan penarik jentera…

Masih kucari rindu yang membiru

pada rapuhnya dunia

biar kupastikan terbawa serta,

sebab dunia tempat kita berdiri

serapuh warna rembulan…

.

Minus Sebelas

Masih sebelas senja…

harus kunikmati sendiri

Sekira tanganku menjelma mendung

dan nafasku laksana rintik hujan,

hendak ku hembuskan badai

pada langitmu disana

atau ku lukiskan pelangi

pada cakrawala

untukmu sendiri…

.

Minus Sepuluh

Aku rindu pada rasa rindu

hingga ku dekap jajaran gerbong

pada kereta yang melaju pilu…

Aku merindu pada nyala air mata

hingga derainya tak lagi bersisa,

Pada rumahmu,

aku merindu…

.

Minus Sembilan

Sepagi buta…

lagi,

engkau ingatkan aku pada jalan kembali

seolah aku tak lagi bernafas untukmu…

Mestinya usah kau kabarkan resahmu

hingga pilar jantungku bergetar

bergemuruh

Sebelum purnama

aku pasti kembali.

.

Minus Delapan

Telaga rasa yang tak habis ku salir

akan ku isi warna mu

yang juga warna ku,

Seperti tahun-tahun dulu

ketika aku menyesap nyawa

dari tiupan nafasmu

pun aliran nadimu

Meski jarak tercipta

biar malam menyatukan

sebab rembulan adalah cermin kita…

.

Minus Tujuh

Perlahan,

aku memungut jejak yang berserak

meniriskannya dari segala hampa…

Kusisihkan sekian waktu yang terbunuh

dalam warna-warni dunia

Kurekat tiga ribu enam ratus lima puluh senja

yang terlewat tanpamu…

Kini aku kembali

untuk memaknai senja

dalam bingkai senyummu

.

Minus Enam

Melalui hitungan senja yang tersisa

aku menjenguk senyummu dalam nyata

rasamu dalam jiwa

tangismu dalam rindu…

Ah, semakin dekat saja!

.

Minus Lima

Sengaja

aku menikmati senja pada batas bumi,

mengantar matari yang perlahan pulang

sendiri tanpa dirimu

pun bayangmu

Agar kelak aku takkan merindu

pada cita-cita mengejar matahari

Dan yang tersisa

hanya dirimu

.

Minus Empat

Dalam seratus putaran waktu

jantera telah ku pasang rapi

mengikatnya dengan kelindan

Dayung ku siapkan

dalam sandar buritan

Aku telah bersiap

dalam gegas

Sampan menuju mu

menunggu waktu

.

Minus Tiga

Waktu yang aku tunggu

membunuhku tiap detik berdetak

Tak tampak lagi matari

yang ada jalinan rindu

Segala warna sirna

berganti bayangmu

Aku terbunuh masa tunggu

.

Minus Dua

Aku berbalik,

meletakkan matahari di atas punggung

Melepaskannya dari cita-cita

seperti dahulu…

Aku telah memilih

untuk tak lagi mengejarnya…

Sebab aku tahu

ternyata matahari yang akan datang padaku

esok hari

di tempatmu.

.

Minus Satu

Aku pulang,

tak lagi hendak kemana

telah kususuri parade peristiwa

hingga cabang berhenti bertambah

jalan tak lagi mendua

Kutinggalkan sumpah serapah dunia

pada ruang tanpa pusara

Kelak aku akan kembali

memungut rantai yang terlepas

sebagai pengikat rindu

bila ada nanti

Hatiku berpacu

dengan papas dayung dan derit jentera

Aku pulang.

.

Pulang

Mengejar matahari

aku lelah rasa

harus kubingkai sembilan sembilu

merakit jalan pulang

Aku merindu senandungmu,

rintih doamu dikala subuh,

serta bisik lembut pada rahimmu

bagaimana aku tak mencintaimu seumur hidupku?

Perlahan sekali,

aku mengurai hari

membunuh menit yang melilit

untuk sampai padamu

Ijinkan aku

mereguk kembali nyawaku

dengan mencium tanganmu

Bunda

.

  • Pengunjung

    • 10,622 hits
  • July 2011
    M T W T F S S
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    25262728293031
  • obrolan via twitter

  • Meta