Jelang Ramadhan (1)

Sore hampir meredup. Dan aku masih bertahan disini. Harusnya sejak semalam aku sudah meninggalkan kampungku untuk melakukan perjalanan ini.

Ya. Sebuah perjalanan yang kami rencanakan demi menyambut Ramadhan tahun ini terpaksa berubah total. Rencananya kami berempat hendak mengayuh sepeda sembari menikmati perjalanan Jogjakarta-Jepara. Bukan untuk memecahkan rekor, namun sekedar menikmati prosesnya. Untuk itu durasi waktu dua hingga tiga hari diambil.

Segala persiapan telah dilakukan. Tenda perjalanan sudah dipesan. Kami berempat dalam kondisi siap. Namun kami harus merubahnya. Total. Dua sepeda tiba-tiba tidak dalam kondisi baik. Demi alasan keamanan, kami membatalkannya. Pun meskipun dua pengendara masih siap berangkat, jumlah dua orang tidak memenuhi standard keamanan yang kami putuskan diawal.

Yah, mungkin rencana perjalanan kami tersebut bisa kami undur hingga sehabis lebaran atau mungkin menjelang ramadhan tahun depan.

Namun, aku sendiri tidak mau rencana kami batal begitu saja, seluruhnya. Meski seorang pengendara lainnya menolak untuk ikut dalam rencana baruku, aku bersiap untuk melakukan perjalananku sendiri malam ini.

Selepas mengisi kelas TOEFL for Beginner nanti malam. Aku berencana mengadakan perjalanan yang semoga tak kalah seru. ada yang mau ikut? 🙂

Salam perjalanan! Sampai jumpa pada catatan berikutnya. 🙂

Titik Akhir

Pada suatu siang yang terik di sebuah desa perbatasan Demak-Jepara, aku duduk diantara puluhan orang yang tak satupun ku kenal. Tua muda, bapak-bapak hingga kakek-kakek khusyuk memanjatkan doa bagi tuan rumah. Bukannya tidak ada perempuannya, tetapi setiap ibu atau nenek yang datang langsung masuk ke dalam rumah melalui pintu samping.

Kami duduk diatas kursi plastik hijau dan putih di halaman rumah. Barisan kursi yang sudah tidak sejajar demi mencari tempat teduh. Kursi-kursi yang sudah dipindahkan ke bawah pohon atau mengikuti bayangan tenda yang sudah tak lurus lagi. Beberapa malah telah memindahkan kursi di balik tembok rumah tetangga.

Siang itu, kami, para pelayat, melepas kepergian seorang kerabat. Tuhan telah memutus waktu dan kesempatan baginya di dunia. Sebuah titik akhir dari setiap ingin, rasa, lelah, usaha, rencana dan cita-cita manusia. Di titik ini ingin sudah tidak penting lagi kecuali yang telah diniatkan dengan baik. Lelah tidak penting lagi kecuali yang telah disyukuri. Usaha tidak penting lagi kecuali yang telah dipenuhi dengan kebaikan. Cita-cita tidak penting lagi kecuali yang telah diusahakan.

Siapa diri kita sudah tidak penting lagi kecuali bagaimana proses kita mencapainya!

gambar dari sini

Rumah

Sekira seminggu yang lalu, aku pulang ke rumah Bundaku, di Jepara. Bukan pulang untuk mampir sejenak melepas rindu, namun pulang untuk kembali tinggal bersama beliau.

Sudah sepuluh tahun kami tidak tinggal serumah. Sepuluh tahun lewat sejak aku berpamitan pada Bunda untuk berkelana mencari pengalaman di tempat-tempat yang jauh. Meski sesekali aku menyempatkan balik ke rumah Bunda untuk melepas rindu.

Dalam sepuluh tahun itu pula aku mengunjungi tempat-tempat baru dengan segudang petualangan dan ilmu baru. Tinggal di kota-kota impian untuk menggali pengalaman sebanyak-banyaknya.

Pare, Kediri, adalah kota persinggahan pertamaku, kota pembuka dari rangkaian pengembaraanku. Di kota ini, aku belajar memiliki mimpi. Menggantungkan keinginan setinggi langit. Dan sekuat keberanian mengejarnya hingga titik tertinggi.

Setelah bertahan di kota kecil ini selama hampir lima tahun, hingga aku telah menganggapnya sebagai kampung halaman keduaku, Pare kemudian membukakan kesempatan bagiku untuk mengunjungi kota-kota berikutnya.

Adalah Jakarta, the most hectic city in Indonesia, menjadi tempat persinggahan berikutnya. Mengenal Jakarta seperti mengenal seseorang yang berjiwa muda, warna-warni berganti setiap hari, perubahan yang jauh dari kata lelah. Mengenal Jakarta seperti mengenal mobil antik, seluruh badan tampak mulus meski dibawahnya tersembunyi karat dan tambalan yang merata. Mengenal Jakarta seperti mengenal seseorang dengan penyakit jantung, detak jantung selalu berdegup cepat dan seringkali tak seirama. Dua tahun yang melelahkan.

Tinggal di Makassar, kemudian, adalah jawaban atas mimpi tiga tahun sebelumnya ketika bertemu dan berkawan dengan orang-orang Makassar memberikan dorongan untuk mengenal budaya mereka dari tanah asalnya. Meski hanya tujuh bulan tinggal di Makassar, aku menyukai makssar.

Kota keempat dan terakhir sebelum akhirnya aku memutuskan untuk pulang adalah Jogjakarta. Kotanya orang-orang cerdas, kreatif namun santun. Surganya bagi para pembelajar.  Tanah yang subur bagi pecinta komunitas.

Di Jogjakarta ini pula aku bertemu dan bersahabat dengan pribadi-pribadi yang luar biasa. Berpikiran terbuka dan senang berbagi inspirasi. Iya, siapa lagi kalo bukan warga @ngerumpi.com.

Terimakasih kalian! Aku pulang. Meski tidak membawa serta Pare, Jakarta, Makassar maupun Jogjakarta, aku pulang membawa rumah @ngerumpi bersamaku. Mari ramaikan! Mari menulis dengan Hati!

 

*) ditulis untuk di posting di ngerumpi.com

 

 

  • Pengunjung

    • 10,622 hits
  • July 2011
    M T W T F S S
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    25262728293031
  • obrolan via twitter

  • Meta